Untukku…
Untuk Ukhti…
Untuk semua yang mengaku aktivis dakwah…
Kupersembahkan tulisan ini untuk telinga yang paling dekat mendengar,
untuk hati yang mengaku saling mengikat, dan untuk raga yang tak sempat
berhadapan.
Pernah dengar, bahwa “malu” itu sebagian dari iman?
Tentu iya kan. Keimananlah yang membuat hati kita merasa malu. Malu kepada
Allah karena bermaksiat, malu karena tidak bersungguh-sungguh dalam beramal,
atau malu karena tidak melaksanakan perintah. Benar jika malu itu ditujukan
kepada Allah sehingga membuat hati sempit, ingin sembunyi, sampai-sampai tak
mampu menegakkan kepala. Akan tetapi, apakah kita bisa sembunyi dari Allah?
Atau terus dalam kesempitan hati tanpa ada usaha untuk melapangkannya kembali
seperti tak pernah terjadi sesuatu? Bahkan haruskah kita terus menyembunyikan
senyum yang menjadi ibadah di balik kepala yang tertunduk?
Ukhti,
ingatkah kita bahwa malu itu amalan hati. Kalaupun kita hari ini merasakannya,
maka cukuplah Allah dan Ukhti yang tahu. Ketika Ukhti melakukan kemaksiatan,
itu merupakan aib bagi Ukhti. Teringat sebuah hadits dari qudwah terbaik kita,
Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam,
“Setiap umatku dimaafkan
kecuali orang yang terang-terangan (melakukan maksiat). Dan termasuk
terang-terangan adalah seseorang yang melakukan perbuatan maksiat di malam
hari, kemudian di pagi harinya –padahal Allah Subhaanahu Wata’aala telah
menutupnya- ia berkata: wahai fulan, kemarin aku telah melakukan ini dan itu - padahal
Allah Subhaanahu Wata’aala telah menutupnya- dan di pagi hari ia membuka
tutupan Allah terhadapnya.” (HR. Bukhari, Kitab Al Adab, bab 60. Hadits no.
6069)
Oleh karena
kita akhawaat dan aktivis dakwah, mungkin kita tidak mengatakan, “Wahai fulan,
kemarin aku begini dan begitu”, tapi mungkin tanpa kita sadari, kita telah
membuka aib itu secara tidak langsung, sekali lagi, bukan melalui lisan kita,
tapi dengan sikap kita. Sebagai contoh, kita tidak datang musyawarah karena
kemalasan kita atau penyakit hati yang belum sirna kepada akhwat. Kita pun
meminta permakluman dengan berdalih beberapa alasan yang mampu meyakinkan
pemimpin kita. Lalu, kemalasan atau penyakit hati memanggil keburukan yang
lain. Akhirnya semua momen kebersamaan dengan akhwat pun kita tinggalkan.
Ketika tersadar dengan semua kelalaian itu, hati pun meronta ingin kembali
kepada suasana yang menghidupkannya. Lalu tak jarang diantara kita mengatakan,
“malu-malu ma ketemu akhwat”. Ukhti, mari kita buka kembali catatan kita yang
bertema Malu Karena Allah. Kalaupun tak punya maka pinjamlah catatan akhwat.
Kalaupun malu untuk meminjam, maka carilah saran lain.
Posisis
malu yang Allah inginkan dan merupakan bagian dari keimanan kita adalah malu
kepada Allah ketika bermaksiat. Kalau kita malu melakukan kebaikan, silahkan
bertanya kepada hati Ukhti dengan kejujuran terhadap ilmu yang selama ini telah
didapatkan. Tentu kita sepakat dengan jawaban bahwa tidak ada tempat bagi rasa
malu dalam melakukan kebaikan. Bahkan menghindari rasa malu merupakan tips agar
kita dapat menguasai ad din.
Jika kita
mau menghubungkan antara aib dan malu dalam kasus di atas, maka seharusnya kita
bertanya kepada diri kita. Bisakah kita tidak menampakkan kemalasan kita dengan
cara menghindar dari akhwat? Kalaupun hari ini kita malas, berdzikirlah untuk
dihindarkan dari kemalasan, lalu paksa diri kita untuk menampakkan wajah di
hadapan akhwat keesokan harinya tanpa berprasangka bahwa akhwat tahu alasannya
kenapa kita tidak menghadiri musyawarah karena malas atau karena penyakit hati
atau ada alasan lain. Akhwat tak punya kuasa membaca hati, akhwat hanya percaya
terhadap apa yang kita katakan, akhwat hanya menghakimi apa yang keluar dari lisan
kita, dan yakinlah akhwat akan berusaha berprasangka baik terhadap alasan ketidakhadiran
kita.
Tak
jarang dari kita hanya terkungkung dari zhan-zhan yang kita ciptakan sendiri. “Nanti
akhwat menyinggung” atau “Nanti akhwat berubah”, atau “Nanti akhwat sinis” atau
nanti dan nanti seterusnya. Kalau Ukhti mau jujur dengan ilmu, maka Ukhti akan
segera bangun dari kemalasan atau segera menyembuhkan hati dari segala macam
penyakitnya. Kemudian Ukhti iringi keburukan itu dengan amal shaleh lainnya dan
terus memperbaiki diri setelah mengakui semua keburukan tadi di hadapan Allah.
Ini namanya MALU, Ukhti. Bukan dengan melemahkan diri, lalu lari dari
amanah, dan menjauhi lingkungan akhwat. Ini namanya Ukhti MALU-MALUIN.
+ komentar + 2 komentar
So...
WAKE UP PEJUANG!!!
STOP! MALU-MALUIN...
^_^
Bismillah...
Subhanallaah....
Semua malu yg benar itu adalh baik, jika malu itu tdk mendatangkn kebaiakan untukmu maka itu bukanlah malu yg sebenarnya....
#stay.with.shy
Post a Comment
Jangan pergi begitu saja. Setidaknya, silakan berkomentar dulu ya!
Syukran wa Jazakumullahu Khair.