Home » » Malu atau Malu-Maluin???

Malu atau Malu-Maluin???

Written By FUM Makassar on Oct 16, 2012 | 16.10.12


Untukku…
Untuk Ukhti…
Untuk semua yang mengaku aktivis dakwah…
Kupersembahkan tulisan ini untuk telinga yang paling dekat mendengar, untuk hati yang mengaku saling mengikat, dan untuk raga yang tak sempat berhadapan.

Pernah dengar, bahwa “malu” itu sebagian dari iman? Tentu iya kan. Keimananlah yang membuat hati kita merasa malu. Malu kepada Allah karena bermaksiat, malu karena tidak bersungguh-sungguh dalam beramal, atau malu karena tidak melaksanakan perintah. Benar jika malu itu ditujukan kepada Allah sehingga membuat hati sempit, ingin sembunyi, sampai-sampai tak mampu menegakkan kepala. Akan tetapi, apakah kita bisa sembunyi dari Allah? Atau terus dalam kesempitan hati tanpa ada usaha untuk melapangkannya kembali seperti tak pernah terjadi sesuatu? Bahkan haruskah kita terus menyembunyikan senyum yang menjadi ibadah di balik kepala yang tertunduk?
Ukhti, ingatkah kita bahwa malu itu amalan hati. Kalaupun kita hari ini merasakannya, maka cukuplah Allah dan Ukhti yang tahu. Ketika Ukhti melakukan kemaksiatan, itu merupakan aib bagi Ukhti. Teringat sebuah hadits dari qudwah terbaik kita, Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam,
“Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan (melakukan maksiat). Dan termasuk terang-terangan adalah seseorang yang melakukan perbuatan maksiat di malam hari, kemudian di pagi harinya –padahal Allah Subhaanahu Wata’aala telah menutupnya- ia berkata: wahai fulan, kemarin aku telah melakukan ini dan itu - padahal Allah Subhaanahu Wata’aala telah menutupnya- dan di pagi hari ia membuka tutupan Allah terhadapnya.” (HR. Bukhari, Kitab Al Adab, bab 60. Hadits no. 6069)
Oleh karena kita akhawaat dan aktivis dakwah, mungkin kita tidak mengatakan, “Wahai fulan, kemarin aku begini dan begitu”, tapi mungkin tanpa kita sadari, kita telah membuka aib itu secara tidak langsung, sekali lagi, bukan melalui lisan kita, tapi dengan sikap kita. Sebagai contoh, kita tidak datang musyawarah karena kemalasan kita atau penyakit hati yang belum sirna kepada akhwat. Kita pun meminta permakluman dengan berdalih beberapa alasan yang mampu meyakinkan pemimpin kita. Lalu, kemalasan atau penyakit hati memanggil keburukan yang lain. Akhirnya semua momen kebersamaan dengan akhwat pun kita tinggalkan. Ketika tersadar dengan semua kelalaian itu, hati pun meronta ingin kembali kepada suasana yang menghidupkannya. Lalu tak jarang diantara kita mengatakan, “malu-malu ma ketemu akhwat”. Ukhti, mari kita buka kembali catatan kita yang bertema Malu Karena Allah. Kalaupun tak punya maka pinjamlah catatan akhwat. Kalaupun malu untuk meminjam, maka carilah saran lain.
Posisis malu yang Allah inginkan dan merupakan bagian dari keimanan kita adalah malu kepada Allah ketika bermaksiat. Kalau kita malu melakukan kebaikan, silahkan bertanya kepada hati Ukhti dengan kejujuran terhadap ilmu yang selama ini telah didapatkan. Tentu kita sepakat dengan jawaban bahwa tidak ada tempat bagi rasa malu dalam melakukan kebaikan. Bahkan menghindari rasa malu merupakan tips agar kita dapat menguasai ad din.
Jika kita mau menghubungkan antara aib dan malu dalam kasus di atas, maka seharusnya kita bertanya kepada diri kita. Bisakah kita tidak menampakkan kemalasan kita dengan cara menghindar dari akhwat? Kalaupun hari ini kita malas, berdzikirlah untuk dihindarkan dari kemalasan, lalu paksa diri kita untuk menampakkan wajah di hadapan akhwat keesokan harinya tanpa berprasangka bahwa akhwat tahu alasannya kenapa kita tidak menghadiri musyawarah karena malas atau karena penyakit hati atau ada alasan lain. Akhwat tak punya kuasa membaca hati, akhwat hanya percaya terhadap apa yang kita katakan, akhwat hanya menghakimi apa yang keluar dari lisan kita, dan yakinlah akhwat akan berusaha berprasangka baik terhadap alasan ketidakhadiran kita.
Tak jarang dari kita hanya terkungkung dari zhan-zhan yang kita ciptakan sendiri. “Nanti akhwat menyinggung” atau “Nanti akhwat berubah”, atau “Nanti akhwat sinis” atau nanti dan nanti seterusnya. Kalau Ukhti mau jujur dengan ilmu, maka Ukhti akan segera bangun dari kemalasan atau segera menyembuhkan hati dari segala macam penyakitnya. Kemudian Ukhti iringi keburukan itu dengan amal shaleh lainnya dan terus memperbaiki diri setelah mengakui semua keburukan tadi di hadapan Allah. Ini namanya MALU, Ukhti. Bukan dengan melemahkan diri, lalu lari dari amanah, dan menjauhi lingkungan akhwat. Ini namanya Ukhti MALU-MALUIN.
Share this article :

+ komentar + 2 komentar

Friday, October 26, 2012 7:23:00 PM

So...
WAKE UP PEJUANG!!!
STOP! MALU-MALUIN...

^_^

Tuesday, December 04, 2012 5:42:00 AM

Bismillah...
Subhanallaah....
Semua malu yg benar itu adalh baik, jika malu itu tdk mendatangkn kebaiakan untukmu maka itu bukanlah malu yg sebenarnya....
#stay.with.shy

Post a Comment

Jangan pergi begitu saja. Setidaknya, silakan berkomentar dulu ya!
Syukran wa Jazakumullahu Khair.

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Forum Ukhuwah Muslimah Makassar - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger