Puluhan
abad lamanya filsafat, sastra, pengetahuan, dan para peneliti memberi tahu
bahwa satu-satunya alasan kita menjalin hubungan dengan orang lain justru
adalah demi kepentingan pribadi. Dalam ilmu politik lebih lagi, persahabatan adalah
soal kepentingan. Mereka mengakui bahwa menyendiri adalah penderitaan, namun
arti persahabatan mereka juga tak kalah buruknya.
Falsafah
evolusi Darwin yang entah mengapa sampai sekarang masih saja diajarkan di bangku sekolah
semakin menambah pemahaman tak ramah
tentang arti hubungan antar manusia ini. Siapa kuat dia bertahan, “survival of
the fittest”, Darwin mengajarkan bahwa Hubungan sejati adalah persaingan
habis-habisan.
Untunglah
seorang peneliti antropologi sedikit memperbaiki kesalahan ilmu pengetahuan
tentang konsep ‘sahabat’. Adalah joseph Henrich dan sahabatnya Robert Boy. Mereka
mempelajari dengan seksama penyaluran perilaku social dan budaya antara sesama
manusia. Kesimpulan mereka menarik: bahwa upaya kerjasama bukanlah hasil dari
rasa kedirian . ia adalah buah dari upaya turun
temurun menjamin kelangsungan makhluk bernama manusia. Bukan secara
pribadi, melainkan berjamaah.
Joseph
Hendrich memberi catatan pada penelitiannya, bahwa kemampuan pribadi untuk memberi pemaknaan pada hidupnya, akan pula
menguatkan pemaknaan mereka pada
hubungan yang pada akhirnnya membuat kerja sama menjadi suatu kekuatan yang
cantik, manis dan suci.
Nah….ukhtifillah,
selama ini apa pemaknaan kita terhadap kebersamaan dalam ukhuwah islamiyah
kita?
Madinah, hari penuh cahaya
“saya
adalah Abud Darda’, dan ini adalah
saudara saya Salaman Al Farisi. Allah telah memuliakannya dengan islam dan dia
memuliakan islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama
disisi Rosulullah shallallahu’alaihi wasallam,
hingga belau menyebutnya sebagai ahlul baitnya. Saya datang mewakili saudara
saya ini untuk melamar putri anda untuk dipersuntingnya.”, runtut Abud darda’
menjelaskan.
“Adalah
sebuah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, “menerima anda berdua, shahabat
Rosulullah yang mulia. Dan juga sebuah kehormatan jika keluarga ini bermantukan
seorang shahabat Rosulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab sepenuhnya saya
serahkan kepada putri saya.” Tuan rumah memberi
isyarat kearah hijab yang dibelakangnya sang putri menanti dengan segala
debar hati.
“maafkan
atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang Ibu yang bicara
mewakili putrinya. “tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan
mengharap ridho Allah saya menjawab bahwa putri saya menolak pinangan Salman,
namun jika Abud Darda memiliki urusan yang sama, maka putri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Sebuah
keterusterangan yang ironis, menyakitkan, demikian jika kita diizinkan untuk
menafsirkan apa yang terjadi di madinah siang itu. Tapi, lihatlah ukhtiy,
seperti apa Salman bersikap, maka keironisan itu menjadi keindahan sebuah
persaudaraan. “ Allahu Akbar…” pekik Salman Di tengah keterpakuan Abud darda’. “semua
mahar dan nafkah yang telah ku persiapkan ini akan ku serahkan kepada Abud
Darda’, dan aku akan menjadi saksi
perikahan kalian!”
Cinta
dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati, perasaan ingin memiliki,
kontras dengan pemahaman bahwa ia belum punya hak atas orang yang ia cintai.
Maka Salman dengan sebuah keagungan memilih jalan yang indah, tidak ada dendam,
tidak ada ekspresi kecewa.
Zaman millennium, dalam ruang waktu.
“kasi alasan mengapa kita mesti nerima kamu sebagai sahabat?” tantang gadis metropolis itu.
“Emang kamu punya apa?” kali ini pemilik
senyum meremehkan ikut menyahut.
Klik….
“aku nggak nyangka,” ujarnya berurai air
mata, “apa sih yang kurang? aku udah
berusaha mencintai dia sepenuhnya, tapi dia tetap aja khianatin aku….”
“nggak ada yang kurang dari kamu, ingat …..cowok di dunia ini banyak, ngapain sih nangisin orang kek dia?, ngabisin
energi aja tau.” Ucapnya memeluk sang sahabat.
Klik….
“lo
tenang aja Yud, kita bakalan bantu elo baikan sama cewek pujaan lo
itu..hahaha,”
Ya
Allah…ini arti sahabat zaman sekarang. Persahabatan yang kering, karena materi
adalah pondasinya. Media massa menyebarkan gaya persahabatan se-iya se-kata,
tidak boleh beda. Menjadi follower, apapun pilihan sahabat kita maka tidak ada
jalan selain mendukungnya, itu adalah tanda kesetiaan. Akibatnya tumbuhlah benih-benih perpecahan,
pengelompokan berdasarkan status social, kecerdasan, kesenangan,dan style yang
pada akhirnya ukhuwah islamiyah
lenyap bagai pasir tersapu angin gurun.
Aku mencintaimu karena Allah…
Dikisahkan
oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah, “suatu hari seseorang
melakukan perjalanan untuk mengunjungi saudaranya yang tinggal di suatu negeri.
Maka Allah mengutus seorang malaikat untuk mencegatnya di suatu tempat di
tengah-tengah perjalanan. Ketika orang tersebut sampai, malaikat tersebut
bertanya, “hendak kemanakah engkau wahai hamba Allah?”
“aku
hendak mengunjungi saudaraku yang tinggal di negeri ini,” jawab orang itu.
“apakah
engkau punya kepentingan duniawi yang diharapkan darinya?”
“tidak,”
tukasnya, “kecuali sebab aku mencintainya karena Allah.”
“sesungguhnya
aku adalah utusan Allah,” ujar sang malaikat, “yang dikirim Allah untuk
menyampaikan kepadamu bahwa Ia telah mencintaimu seperti cintamu pada saudaramu
itu.”
“…dan Allah yang mempersatukan hati para hamba beriman. Jikapun kau nafkahkan perbendaharan bumi seluruhnya untuk mengikat hati mereka, takkan bisa kau himpun hati mereka. Tetapi Allahlah yang telah menyatupadukan mereka…” (Q.s. Al-Anfaal:63)
Di
bawah naungan ilahi, kita adalah saudara yang di persatukan karena iman. Hingga
pandangan mata, sentuhan tangan, pembicaraan, gerak tubuh, dan getar hati
menjadi sebuah simfoni. Saling pengertian, saling menyayangi, saling setia,
sumber inspirasi, luasnya jiwa, dan sikap lapang dada. Itulah yang terjadi pada
Muhammad Rosulullah dan orang-orang yang bersamanya. Lalu kita menyaksikan
sebuah keajaiban, bahwa sakitnya adalah sakit kita. Lukanya adalah luka kita. Di
bawah rindangny pohon islam kita adalah ranting-ranting yang menjulurkan buah
terbaik. Semoga kebersamaan membawa kita menuju syurga. Aminn**
+ komentar + 4 komentar
wah menginspirasi sekali :)
semoga berkah ukhty....
sering2 berkunjung yaaa..hehe
Bismillah,,,
MasyaaAllah,, tulisan yg membelajarkan,,,
semuanya harus karena Allah;)
A: uhibbukifillah...
B: ahabbkalladzi ahbabtaniy lahu... ^_^
Post a Comment
Jangan pergi begitu saja. Setidaknya, silakan berkomentar dulu ya!
Syukran wa Jazakumullahu Khair.